Siapa yang tak kenal Liem Swie King? Salah seorang atlet bulutangkis terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Legenda bulutangkis kelahiran 28 Februari 1956 ini terkenal dengan istilah “King’s Smash”. Smash-nya yang keras dilakukan sambil melayang, shuttlecock dipukul saat tubuh belum menyentuh tanah, smash yang dilakukan sambil meloncat, dan dikenal dengan sebutan King’s Smash.
BIografi mengenai sang legenda bulutangkis ini dituliskan dalam Panggil Aku King dengan sangat berurutan. Mulai dari flash back adegan pembuka saat pertandingan final All England 1978, saat King merebut gelar juara All England dari tangan Rudi Hartono, juara 8 kali All England. Cerita selanjutnya bergulir dengan sangat berurutan.
Menjadi Idola
Sejak kemenangannnya pada All England 1978, King mulai menjadi idola baru dalam bulutangkis. Ia menjadi penerus kejayaan Rudi Hartono, Karier bulutangkisnya terus melesat tajam, ia pernah menjadi yang tak terkalahkan selama 33 bulan. Sepanjang tahun 1978-1979 ia selalu menjadi jawara disetiap pertandingan yang diikutinya.
“Bayangkan saja, mana ada pemain yang selama satu tahun penuh, tidak pernah terkalahkan? Saya saja rasanya tidak bisa mempertahankan kondisi puncak demikian terus-menerus selama satu tahun.” (Rudi Hartono dalam Kompas, 28 Februari 1979, halaman 103)”
Selama rentang 33 bulan itu dua kali gelar juara All England berhasil diraihnya (1978,1979). Ada pula medali emas pada Asian Games VIII (1978), menang straight set dari Han Tsien (Cina). Dalam kemenangannya pertama kali pada All England 1978, memunculkan spekulasi bahwa Rudi sengaja mengalah pada King dan memberikan gelar padanya. Apa yang terjadi dalam ruang ganti? Mengapa King perlu mengucapkan “terima kasih” kepada seniornya yang juga idolanya tersebut?.
Tahun 1978-1979 merupakan tahun-tahun awal kejayaannya. Berbagai hadiah diterima, sanjungan serta menjadi idola baru, dan terkenal layaknya artis. Namun ditengah masa kejayaannya, ia melakukan sebuah kesalahan yang membuatnya harus dihukum skorsing selama tiga bulan. Dalam SEA Games X tahun 1979 di Jakarta, pada pertandingan penyisihan nomor tunggal putra, ia dinyatakan kalah WO dari pemain Singapura, Lee Hai Tong. Seharusnya pertandingan itu dilakukan pada pukul 09.30, tetapi sampai menit terakhir, King tak juga muncul.
“Aku baru muncul lima menit setelah setelah aku dinyatakan kalah WO. Wajahku memang lusuh. Aku hanya sempat mengenakan sandal sambil membawa raket saat turun dari mobilku.” (halaman 133)
Tahir Djide, pelatihnya saat itu tentulah amat murka atas kelakuan anak didiknya ini. Lantas apa alasannya hingga King datang terlambat? Ia ketiduran dan tidak ada yang mengingatkannya. Malam sebelumnya ia masih melakukan pertandingan hingga jam 01.00 dini hari. Oleh karena beberapa hari belakangan pertandingan dilakukan pada malam hari, maka King pun tak mengira kalau hari itu ada jadwal pertandingan yang dilakukan pada pagi hari. Tak pelak lagi, sanksi skorsing selama tiga bulan pun harus dijalaninya. Beberapa pertandingan harus ia lewatkan, dan yang terberat tentunya adalah penilaian publik atas dirinya.
Merambah Dunia Akting
Selama menjalani masa skorsing, King bukan hanya semakin jarang melakukan latihan, tetapi King mulai disibukkan dengan kegiatan lain diluar bulutangkis, bermain film. Ia pun menjadi salah satu pemain dalam film Sakura Dalam Pelukan bersama Eva Arnaz. Langkah ini seperti mengikuti jejak idolanya, Rudi Hartono yang juga pernah bermain film bersama Poppy Dharsono dalam film Matinya Seorang Bidadari.
“Sebetulnya aku menikmati saja syuting film ini. Karena aku piker aku mengalami titik jenuh dan kebosanan dalam dunia bulutangkis. Bertahun-tahun berlatih di Pelatnas tanpa putus-putusnya, aku merasa jenuh.” (halaman 140)
Ditengah kejenuhan itulah, tawaran untuk bermain film tak lagi ditampiknya. Beruntung, belakangan King menyadari kalau film bukanlah dunianya. Andai ia lebih memilih film, tentu King tidak akan menjadi legenda seperti saat ini. Waktu tiga bulan skorsing itu ternyata sangat berpengaruh pada penampilan King. Akibat ia sudah semakin jarang mengikuti latihan.
Sepanjang karier bulutangkisnya, mungkin ada satu hal yang disesali King, yaitu keikutsertaannya dalam duet meet atau dwilomba antara Indonesia – China yang saat itu baru bergabung dengan IBF. Dalam pertandingan pertamanya setelah istirahat karena skorsing selama 33 bulan itu, King dikalahkan oleh Han Jian, pemain China yang pernah dua kali dikalahkan sebelumnya. Ia kalah 17-18 dari Han Jian. Kekalahannya ini membuat King merasa sangat terpukul. Ia juga mengakui kekalahannya ini akibat ia kurang latihan selama masa skorsing tiga bulan serta terlambat masuk pelatnas selama tiga minggu.
“Aku tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa lama, bahkan bertahun-tahun setelah pertandingan dwilomba itu. Aku merasa pertandingan dengan Han Jian itu pertandingan yang sangat berat. Aku terlalu percaya diri. Aku merasa terlalu superior.” (halaman 152)
Gelar juara All England pada 1980 itupun tak lagi dapat diraihnya, dan lagi-lagi King merasakan kekecewaan atas keputusannya untuk mengikuti dwilomba tersebut. Menurutnya jika ia tiadk mengikuti dwilomba tersebut tentunya ia akan dapat lebih berkonsentrasi pada pertandingan All England. Akibat dari kekalahannya melawab Han Jian, King harus bekerja ekstra keras untuk kembali berprestasi. Bukan hanya dengan latihan, tetapi juga mengembalikan rasa percaya dirinya. Mengembalikan kembali penampilan prima seperti sediakala. Perlahan King mulai kembali bangkit, meraih kembali kemenangan di lapangan termasuk menjadi juara All England untuk ketigakalinya pada 1981.