Siapa sebenarnya yang layak untuk disebut sebagai Pahlawan? Adakah pengertian ataupun batasan yang objektif untuk menentukan siapa yang pantas menjadi pahlawan? Kali ini, kisah para peraih Kick Andy Heroes Award ditampilkan dalam buku bertajuk Se7en Heroes : Tujuh Pahlawan Pilihan “Kick Andy”. Imam Prasodjo dalam kata pengantar menyebut orang-orang ini sebagai orang-orang abnormal. Orang-orang yang memiliki mimpi, angan-angan, cita-cita yang kuat dan diperjuangkan dengan penuh kesungguhan, sekalipun harus mengorbankan kenyamanan hidup yang sebenarnya bisa dengan mudah didapatkan.
Sebut saja nama Gisella Borrowka, seorang suster dari Jerman yang mengabdikan hidupnya untuk para penderita kusta di Indonesia. Namanya lebih dikenal dengan sebutan “Mama Putih”. Saat semua orang pergi dan tidak ada yang peduli dengan para penderita kusta, Gisella datang dengan penuh kesabaran merawat mereka. Ia rela meninggalkan semua kemapanan hidup yang dapat diperolehnya dengan mudah di tanah kelahirannya di Jerman.
Orang-orang abnormal ini mungkin terkesan gila. Orang normal mana yang rela meninggalkan kemapanan yang sudah pasti didapatkan. Tanyakan hati nurani anda untuk menjawabnya. Gendu Mulatif mungkin juga gila. Sama gilanya dengan orang-orang gila yang senantiasa dirawatnya. Pria yang akrab dipanggil Baba Gendu awalnya hanya membangun pos ronda disetiap RT di lingkungan tempat tinggalnya. Saat orang gila mulai senang menempati pos ronda yang dibangunnya, alih-alih mengusir ia justru merawat orang gila tersebut.
Cap sebagai orang gila kemudian melekat pada Baba Gendu. Demi merawat orang gila, anaknya sendiri ia minta untuk menjemput orang gila agar dapat ia rawat. Tidak main-main, semua dilakukannya dengan biaya sendiri dari usaha delman yang dilakoninya. Bahkan anak-anak kecil yang biasa memperoleh jatah uang hasil usaha delman, harus bersaing dengan para penderita sakit jiwa yang sekarang memenuhi rumah Baba Gendu.
“Kalau pengen hidup lu enak, lu enakin dulu hidup orang lain,” itulah prinsip hidup yang selalu dipegangnya sehingga caci-maki, hinaan ataupun cap sebagai orang gila tak lagi dihiraukannya. Baba Gendu bahkan rela menjual kudanya satu persatu agar dapat terus merawat para orang gila tersebut.
Orang gila lainnya adalah Baba Akong. Saat semua orang bersikukuh untuk menanam kelapa atau mede daripada bakau, ia tetap pada pendiriannya untuk menanam bakau disepanjang pantai mencegah abrasi. Tragedi tsunami dan tewasnya salah seorang anak aki¬bat batu yang menggelinding dari atas bukit, membuat tekadnya semakin bulat untuk mena¬nam pohon bakau di Pantai Utara Maumere yang belum lama dihantam tsunami itu. Saat harta bendanya ludes akibat tsunami, mereka justru melakukan sesuatu yang sama sekali tidak menghasilkan. Bahkan sang istri harus rela menjual kalungnya agar dapat membeli polybag untuk menanam bibit bakau.
Pengabdian itu nafas, memberi dengan jiwa
Pengabdian pada seni tari tampaknya menjadi nafas bagi Didik Nini Thowok. Berawal dari pelajaran tari yang diperoleh dari tukang cukurnya, ia semakin jatuh hati pada seni tari. Tak pernah cukup untuk belajar. Menampilkan berbagai karyanya di luar negeri dan menjadi maestro tari. “Kakek saya pernah berpesan kalau maju ha¬rus bisa mbodo; jangan merasa sudah pintar dan tak mau belajar atau mendengar dari orang lain. Hati dan pikiran harus selalu terbuka menerima masukan,” kata-kata kakeknya inilah yang terus dipegang Didik dalam menekuni dunia tari. Didik pun meneguhkan tekadnya bukan hanya sebagai penari semata, tetapi juga aktif selaku pen¬cipta dan penata tari, serta pengelola sanggar tari. Didik benar-benar hidup dari dan untuk tari.
Sementara bagi Sugeng Siswoyudono, kehilangan satu kaki bukan berarti ia kehilangan masa depannya. Sebaliknya, ia justru menjadi seorang yang berlebih. Ia membuat kaki palsu yang nyaman dipakainya, dan juga membuatkannya untuk mereka yang membutuhkan. Ia kemudian mendirikan Bengkel Prothesa Than Must Soegenk (baca: Den Mas Su¬geng). Saat tampil dalam salah satu episode Kick Andy, begitu banyak respon positif yang diterima. Hingga kemudian lahirlah program 1000 kaki palsu yang hingga kini sudah memberikan lebih dari 700 buah kaki palsu.
Pengabdian Menembus Batas, Abnormalitas yang Menginspirasi
Begitu banyak orang gila yang dengan kegilaannya memberikan pengabdian diluar batas orang kebanyakan. Suster Rabiah rela menerjang ombak, terapung di laut bermalam-malam, demi mengunjungi pasiennya. Saat tugas dan perahu motor yang ditumpanginya hancur diterjang ombak, maka ia harus bersabar terdampar di pulau tidak berpenghuni hingga tujuh hari hingga ada yang menolong. Iapun kini lebih dikenal sebagai Suster Apung. Sementara sejawatnya di kota menikmati berbagai fasilitas penunjang kesehatan, Suster Apung masih sibuk berkutat dengan peralatan medis sederhana menjangkau pasien dalam wilayah kerjanya meliputi satu kelurahan dan empat desa yang tersebar di 25 pulau di perbatasan antara Laut Flores, Laut Jawa, dan Selat Makassar. Sejak 10 Agustus 1978 hingga sekarang, telah lebih dari tiga puluh tahun Suster Rabiah mengabdi sebagai perawat di pulau-pulau kecil di sekitar Laut Flores.
Sementara itu, Wanhar Umar menjadi guru sekaligus kepala sekolah seorang diri sejak usia 14 tahun. Ia hanya mengajar baca-tulis-hitung karena hanya kemampuan itu yang ia miliki, sebab pendidikannya pun hanya tamatan sekolah dasar. Bangunan sekolahnya hanya terdiri dari tiga ruang yang saling terhubung satu sama lain beratapkan seng bolong dengan dinding lapuk. Sekolah itu tak berpagar dan hanya berlantaikan ta¬nah. Hal ini dilakoninya sejak tahun 1985. Semuanya dilakukan dengan penuh keikhalasan akan sebentuk pengabdian.
Dalam salah satu bagian, Baba Gendu menceritakan keluhannya selama ini, “Sudah merdeka, kok masih banyak orang yang kesulitan dan sakit jiwa. Ada apa? Berarti nega¬ra ini masih belum merdeka.” Tanyakan pada hati anda masing-masing, sudahkah kita merdeka? Merdeka dari rasa sombong, merdeka dari rasa dengki dan keserakahan. Sudahkah kita memerdekakan diri kita hingga dapat melakukan sesuatu untuk lingkungan sekitar kita. Ataukah kita tidak cukup waras hingga mata hati kita tak lagi terbuka, nurani kita tak lagi tersentuh melihat ketakberdayaan disekitar kita. Apakah pahlawan-pahlawan sunyi itu masih dapat kita temukan? Ataukah para pahlawan sunyi itu tertutup oleh bisingnya teriakan mereka yang minta diakui dirinya sebagai pahlawan?.
Sebut saja nama Gisella Borrowka, seorang suster dari Jerman yang mengabdikan hidupnya untuk para penderita kusta di Indonesia. Namanya lebih dikenal dengan sebutan “Mama Putih”. Saat semua orang pergi dan tidak ada yang peduli dengan para penderita kusta, Gisella datang dengan penuh kesabaran merawat mereka. Ia rela meninggalkan semua kemapanan hidup yang dapat diperolehnya dengan mudah di tanah kelahirannya di Jerman.
Orang-orang abnormal ini mungkin terkesan gila. Orang normal mana yang rela meninggalkan kemapanan yang sudah pasti didapatkan. Tanyakan hati nurani anda untuk menjawabnya. Gendu Mulatif mungkin juga gila. Sama gilanya dengan orang-orang gila yang senantiasa dirawatnya. Pria yang akrab dipanggil Baba Gendu awalnya hanya membangun pos ronda disetiap RT di lingkungan tempat tinggalnya. Saat orang gila mulai senang menempati pos ronda yang dibangunnya, alih-alih mengusir ia justru merawat orang gila tersebut.
Cap sebagai orang gila kemudian melekat pada Baba Gendu. Demi merawat orang gila, anaknya sendiri ia minta untuk menjemput orang gila agar dapat ia rawat. Tidak main-main, semua dilakukannya dengan biaya sendiri dari usaha delman yang dilakoninya. Bahkan anak-anak kecil yang biasa memperoleh jatah uang hasil usaha delman, harus bersaing dengan para penderita sakit jiwa yang sekarang memenuhi rumah Baba Gendu.
“Kalau pengen hidup lu enak, lu enakin dulu hidup orang lain,” itulah prinsip hidup yang selalu dipegangnya sehingga caci-maki, hinaan ataupun cap sebagai orang gila tak lagi dihiraukannya. Baba Gendu bahkan rela menjual kudanya satu persatu agar dapat terus merawat para orang gila tersebut.
Orang gila lainnya adalah Baba Akong. Saat semua orang bersikukuh untuk menanam kelapa atau mede daripada bakau, ia tetap pada pendiriannya untuk menanam bakau disepanjang pantai mencegah abrasi. Tragedi tsunami dan tewasnya salah seorang anak aki¬bat batu yang menggelinding dari atas bukit, membuat tekadnya semakin bulat untuk mena¬nam pohon bakau di Pantai Utara Maumere yang belum lama dihantam tsunami itu. Saat harta bendanya ludes akibat tsunami, mereka justru melakukan sesuatu yang sama sekali tidak menghasilkan. Bahkan sang istri harus rela menjual kalungnya agar dapat membeli polybag untuk menanam bibit bakau.
Pengabdian itu nafas, memberi dengan jiwa
Pengabdian pada seni tari tampaknya menjadi nafas bagi Didik Nini Thowok. Berawal dari pelajaran tari yang diperoleh dari tukang cukurnya, ia semakin jatuh hati pada seni tari. Tak pernah cukup untuk belajar. Menampilkan berbagai karyanya di luar negeri dan menjadi maestro tari. “Kakek saya pernah berpesan kalau maju ha¬rus bisa mbodo; jangan merasa sudah pintar dan tak mau belajar atau mendengar dari orang lain. Hati dan pikiran harus selalu terbuka menerima masukan,” kata-kata kakeknya inilah yang terus dipegang Didik dalam menekuni dunia tari. Didik pun meneguhkan tekadnya bukan hanya sebagai penari semata, tetapi juga aktif selaku pen¬cipta dan penata tari, serta pengelola sanggar tari. Didik benar-benar hidup dari dan untuk tari.
Sementara bagi Sugeng Siswoyudono, kehilangan satu kaki bukan berarti ia kehilangan masa depannya. Sebaliknya, ia justru menjadi seorang yang berlebih. Ia membuat kaki palsu yang nyaman dipakainya, dan juga membuatkannya untuk mereka yang membutuhkan. Ia kemudian mendirikan Bengkel Prothesa Than Must Soegenk (baca: Den Mas Su¬geng). Saat tampil dalam salah satu episode Kick Andy, begitu banyak respon positif yang diterima. Hingga kemudian lahirlah program 1000 kaki palsu yang hingga kini sudah memberikan lebih dari 700 buah kaki palsu.
Pengabdian Menembus Batas, Abnormalitas yang Menginspirasi
Begitu banyak orang gila yang dengan kegilaannya memberikan pengabdian diluar batas orang kebanyakan. Suster Rabiah rela menerjang ombak, terapung di laut bermalam-malam, demi mengunjungi pasiennya. Saat tugas dan perahu motor yang ditumpanginya hancur diterjang ombak, maka ia harus bersabar terdampar di pulau tidak berpenghuni hingga tujuh hari hingga ada yang menolong. Iapun kini lebih dikenal sebagai Suster Apung. Sementara sejawatnya di kota menikmati berbagai fasilitas penunjang kesehatan, Suster Apung masih sibuk berkutat dengan peralatan medis sederhana menjangkau pasien dalam wilayah kerjanya meliputi satu kelurahan dan empat desa yang tersebar di 25 pulau di perbatasan antara Laut Flores, Laut Jawa, dan Selat Makassar. Sejak 10 Agustus 1978 hingga sekarang, telah lebih dari tiga puluh tahun Suster Rabiah mengabdi sebagai perawat di pulau-pulau kecil di sekitar Laut Flores.
Sementara itu, Wanhar Umar menjadi guru sekaligus kepala sekolah seorang diri sejak usia 14 tahun. Ia hanya mengajar baca-tulis-hitung karena hanya kemampuan itu yang ia miliki, sebab pendidikannya pun hanya tamatan sekolah dasar. Bangunan sekolahnya hanya terdiri dari tiga ruang yang saling terhubung satu sama lain beratapkan seng bolong dengan dinding lapuk. Sekolah itu tak berpagar dan hanya berlantaikan ta¬nah. Hal ini dilakoninya sejak tahun 1985. Semuanya dilakukan dengan penuh keikhalasan akan sebentuk pengabdian.
Dalam salah satu bagian, Baba Gendu menceritakan keluhannya selama ini, “Sudah merdeka, kok masih banyak orang yang kesulitan dan sakit jiwa. Ada apa? Berarti nega¬ra ini masih belum merdeka.” Tanyakan pada hati anda masing-masing, sudahkah kita merdeka? Merdeka dari rasa sombong, merdeka dari rasa dengki dan keserakahan. Sudahkah kita memerdekakan diri kita hingga dapat melakukan sesuatu untuk lingkungan sekitar kita. Ataukah kita tidak cukup waras hingga mata hati kita tak lagi terbuka, nurani kita tak lagi tersentuh melihat ketakberdayaan disekitar kita. Apakah pahlawan-pahlawan sunyi itu masih dapat kita temukan? Ataukah para pahlawan sunyi itu tertutup oleh bisingnya teriakan mereka yang minta diakui dirinya sebagai pahlawan?.