Tersebutlah sebuah perusahaan pengeboran minyak dari Eropa yang telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1968. Entah telah berapa juta kilo barrel minyak dieksplorasi dari Delta Mahakam, namun rakyat di sana masih tetap bodoh dan anak-anak lulusan sekolah dari daerah tersebut belum memiliki akses langsung untuk bekerja di perusahaan tersebut. Pemerintah Daerah setempat selama puluhan tahun seperti terbius oleh janji manis perusahaan, sehingga tak memiliki imajinasi untuk sekedar bereaksi atas eksploitasi sumberdaya alam yang berlimpah. Di sisi lain secara diam-diam perusahaan telah melakukan pembodohan sumberdaya manusia lokal karena tak memberinya ruang pemberdayaan melalui pengelolaan sekolah-sekolah yang baik dan bermutu.
Hal yang sama selama puluhan tahun juga terjadi di Aceh dan Papua. Anak-anak usia sekolah dan sekolah mereka malah menjadi korban salah kebijakan. Kebijakan dimaksud selama puluhan tahun lalu memang sangat merugikan dunia pendidikan, di mana baik otoritas pendidikan maupun pemerintah daerah seakan termakan isu gombalisasi dan sentralisasi pemerintah pusat. Jadilah pemda kehilangan banyak kesempatan untuk melakukan perbaikan dunia pendidikan. Mudah-mudahan cerita pilu tentang eksploitasi sumberdaya ini tak terjadi di Bojonegoro, salah satu kabupaten yang kaya sumber minyak, namun jika salah dalam melakukan perencanaan pengembangan pendidikannya akan bernasib sama seperti Aceh, Papua dan Kaltim.
Agar tak salah arah, otoritas pendidikan kita harus peduli dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Seiring dengan proses demokratisasi yang membawa hawa segar ke arah perbaikan mutu pendidikan, maka penguatan fungsi dan peran pemerintah daerah dalam menata beragam ruang dan kebutuhan publik, termasuk di dalamnya pendidikan, menjadi lebih terbuka. Bahkan atas nama globalisasi dan keinginan mengejar ketertinggalan, dunia pendidikan kita saat ini sangat gencar membuat beragam sekolah internasional. Pertanyaannya adalah, apakah kebijakan tersebut tepat di tengah masih terbatasnya akses dan kesetaraan (access and equity) pendidikan kita?
Masih sulit untuk menjawabnya, karena fenomena sekolah bertaraf internasional baru berlangsung dalam 4 tahun terakhir. Yang paling mungkin dikritisi adalah soal peran dan fungsi sekolah tersebut dalam memilih desain kurikulum yang sesuai dengan budaya lokal. Tanpa penghargaan terhadap budaya lokal maka proses globalisasi yang akan diperkenalkan melalui program internasional bisa jadi merupakan proses pembodohan (stupidity) secara terencana.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian otoritas pendidikan kita tentang program internasional ini adalah bagaimana membangun hubungan dan komunikasi dengan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Memang ada banyak konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang saat ini dikembangkan dan dilakukan oleh perusahaan. Tetapi tanpa konsep pemberdayaan yang berkesinambungan, maka CSR hanya akan menjadi “wajah malaikat” perusahaan saja, tinimbang memberdayakan. Itulah yang terjadi di Aceh, Papua dan Kaltim, di mana perusahaan hanya membantu hal-hal yang bersifat sporadis dan jangka pendek seperti bantuan fisik dan pembelian alat belajar-mengajar. Dalam teori School Business Management versi Dennis R. Dunklee (2003), tipologi perusahaan seperti ini hanya melakukan peran helping-hand relationship.
Masih menurut Dunklee, sejatinya kita harus dapat menuntut lebih dari para perusahaan tersebut, dengan misalnya melakukan serangkaian kegiatan pemberdayaan pendidikan dalam cakupan jangka panjang (long lasting compact and collaborative effort) yang dapat memengaruhi dengan baik kebijakan pengembangan pendidikan pada suatu daerah. Perubahan kebijakan (policy change) harus menjadi agenda dari setiap produk CRS sebuah perusahaan, karena dengan kerangka itulah masa depan, kesinambungan dan daya tahan sebuah perusahaan akan memperoleh jaminan dari komunitas sekitar.
Akan lebih baik lagi jika hubungan antara dunia usaha, pemerintah dan sekolah dilembagakan dalam sebuah regulasi yang memadai. Hal ini diperlukan agar jangan sampai terulang dunia usaha lepas tangan dan cuci kaki dari setiap tanggungjawabnya. Sementara mereka berasyik ma’syuk mengkeksploitasi sumberdaya alam kita, sekolah-sekolah yang minimal berlokasi di lingkungan tempat mereka beroperasi tak memperoleh keuntungan yang setimpal dan memadai
Hal yang sama selama puluhan tahun juga terjadi di Aceh dan Papua. Anak-anak usia sekolah dan sekolah mereka malah menjadi korban salah kebijakan. Kebijakan dimaksud selama puluhan tahun lalu memang sangat merugikan dunia pendidikan, di mana baik otoritas pendidikan maupun pemerintah daerah seakan termakan isu gombalisasi dan sentralisasi pemerintah pusat. Jadilah pemda kehilangan banyak kesempatan untuk melakukan perbaikan dunia pendidikan. Mudah-mudahan cerita pilu tentang eksploitasi sumberdaya ini tak terjadi di Bojonegoro, salah satu kabupaten yang kaya sumber minyak, namun jika salah dalam melakukan perencanaan pengembangan pendidikannya akan bernasib sama seperti Aceh, Papua dan Kaltim.
Agar tak salah arah, otoritas pendidikan kita harus peduli dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Seiring dengan proses demokratisasi yang membawa hawa segar ke arah perbaikan mutu pendidikan, maka penguatan fungsi dan peran pemerintah daerah dalam menata beragam ruang dan kebutuhan publik, termasuk di dalamnya pendidikan, menjadi lebih terbuka. Bahkan atas nama globalisasi dan keinginan mengejar ketertinggalan, dunia pendidikan kita saat ini sangat gencar membuat beragam sekolah internasional. Pertanyaannya adalah, apakah kebijakan tersebut tepat di tengah masih terbatasnya akses dan kesetaraan (access and equity) pendidikan kita?
Masih sulit untuk menjawabnya, karena fenomena sekolah bertaraf internasional baru berlangsung dalam 4 tahun terakhir. Yang paling mungkin dikritisi adalah soal peran dan fungsi sekolah tersebut dalam memilih desain kurikulum yang sesuai dengan budaya lokal. Tanpa penghargaan terhadap budaya lokal maka proses globalisasi yang akan diperkenalkan melalui program internasional bisa jadi merupakan proses pembodohan (stupidity) secara terencana.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian otoritas pendidikan kita tentang program internasional ini adalah bagaimana membangun hubungan dan komunikasi dengan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Memang ada banyak konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang saat ini dikembangkan dan dilakukan oleh perusahaan. Tetapi tanpa konsep pemberdayaan yang berkesinambungan, maka CSR hanya akan menjadi “wajah malaikat” perusahaan saja, tinimbang memberdayakan. Itulah yang terjadi di Aceh, Papua dan Kaltim, di mana perusahaan hanya membantu hal-hal yang bersifat sporadis dan jangka pendek seperti bantuan fisik dan pembelian alat belajar-mengajar. Dalam teori School Business Management versi Dennis R. Dunklee (2003), tipologi perusahaan seperti ini hanya melakukan peran helping-hand relationship.
Masih menurut Dunklee, sejatinya kita harus dapat menuntut lebih dari para perusahaan tersebut, dengan misalnya melakukan serangkaian kegiatan pemberdayaan pendidikan dalam cakupan jangka panjang (long lasting compact and collaborative effort) yang dapat memengaruhi dengan baik kebijakan pengembangan pendidikan pada suatu daerah. Perubahan kebijakan (policy change) harus menjadi agenda dari setiap produk CRS sebuah perusahaan, karena dengan kerangka itulah masa depan, kesinambungan dan daya tahan sebuah perusahaan akan memperoleh jaminan dari komunitas sekitar.
Akan lebih baik lagi jika hubungan antara dunia usaha, pemerintah dan sekolah dilembagakan dalam sebuah regulasi yang memadai. Hal ini diperlukan agar jangan sampai terulang dunia usaha lepas tangan dan cuci kaki dari setiap tanggungjawabnya. Sementara mereka berasyik ma’syuk mengkeksploitasi sumberdaya alam kita, sekolah-sekolah yang minimal berlokasi di lingkungan tempat mereka beroperasi tak memperoleh keuntungan yang setimpal dan memadai