Rabu, 16 Juni 2010

Kejeniusan Albert Einstein

Cerita yang sungguh menyentuh hati, bahwa semakin berilmu seorang manusia, semakin tinggi pula imannya.
Sebenarnya sudah agak lupa, tapi saya akan coba ceritakan kepada Anda sebuah cerita yang diceritakan oleh seseorang kepada saya beberapa hari yang lalu. Mungkin banyak dari Anda yang telah mendengar cerita ini, namun saya akan tetap menulisnya.

Ketika Einstein masih kuliah, profesornya menantang mahasiswa untuk menjawab pertanyaan,
"Jika Tuhan menciptakan segalanya, apakah kejahatan itu ada? apakah Tuhan menciptakan kejahatan?"
Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan

Kemudian Einstein membalas pertanyaan profesor tersebut dengan menanyakan sesuatu,
"Pak, apakah dingin itu ada?"
Sang profesor dengan bingung menjawab, "pertanyaan macam apa itu?"

Kemudian jawaban Einstein," kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata ‘dingin’ untuk mendeskripsikan ketiadaan panas."
Einstein melanjutkan, ‘Profesor, apakah gelap itu ada?’
Profesor itu menjawab, ‘Tentu saja itu ada.’
Jawaban Einstein, "Sekali lagi anda salah Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut.
Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya."
Akhirnya Einstein kembali bertanya, "Profesor, apakah kejahatan itu ada?"
Dengan bimbang professor itu menjawab, "Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan."
Terhadap pernyataan ini Einstein menjawab, "Sekali lagi Anda salah, Pak. Kejahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, ‘kejahatan’ adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia.
Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya."

..............
nah, seharusnya, manusia yang semakin berilmu semakin bertambah pula keimanannya kepada Tuhan. Jika iman Anda lemah, berarti Anda belum berilmu.
Cerita ini membuat saya tersentuh.

Seminggu Yang Menegangkan

Kata pelajar seminggu ini adalah seminggu yang sangat menegangkan, karena setahun yang mereka lalui seminggu tersebut yang jadi penentu keberhasilan mereka. Sebagian orang mengatakan seminggu itu disebut " Nerakanya Orang Pelajar ", aku sendiri tahu seminggu tersebut adalah hari - hari yang meneganggkan, setiap malam, subuh, siang selalu memegang buku yang akan digunakan untuk bekal mengerjakan soal - soal esok harinya. Hari demi hari  aku lewati dengan penuh ketegangan akhirnya pada hari terakhir perjuanganku, aku merasa lega atas perjuanganku seminggu ini. . .tinggal menunggu hasil dari jerih payahku selama satu minggu. . .dan kini aku akan sampai ke " Surganya Para Pelajar " yang dinanti - nanti oleh beribu - ribu pelajar di dunia ini yang telah menunggu. . .

Selasa, 15 Juni 2010

Gombalisasi atau Globalisasi ?

Tersebutlah sebuah perusahaan pengeboran minyak dari Eropa yang telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1968. Entah telah berapa juta kilo barrel minyak dieksplorasi dari Delta Mahakam, namun rakyat di sana masih tetap bodoh dan anak-anak lulusan sekolah dari daerah tersebut belum memiliki akses langsung untuk bekerja di perusahaan tersebut. Pemerintah Daerah setempat selama puluhan tahun seperti terbius oleh janji manis perusahaan, sehingga tak memiliki imajinasi untuk sekedar bereaksi atas eksploitasi sumberdaya alam yang berlimpah. Di sisi lain secara diam-diam perusahaan telah melakukan pembodohan sumberdaya manusia lokal karena tak memberinya ruang pemberdayaan melalui pengelolaan sekolah-sekolah yang baik dan bermutu.

Hal yang sama selama puluhan tahun juga terjadi di Aceh dan Papua. Anak-anak usia sekolah dan sekolah mereka malah menjadi korban salah kebijakan. Kebijakan dimaksud selama puluhan tahun lalu memang sangat merugikan dunia pendidikan, di mana baik otoritas pendidikan maupun pemerintah daerah seakan termakan isu gombalisasi dan sentralisasi pemerintah pusat. Jadilah pemda kehilangan banyak kesempatan untuk melakukan perbaikan dunia pendidikan. Mudah-mudahan cerita pilu tentang eksploitasi sumberdaya ini tak terjadi di Bojonegoro, salah satu kabupaten yang kaya sumber minyak, namun jika salah dalam melakukan perencanaan pengembangan pendidikannya akan bernasib sama seperti Aceh, Papua dan Kaltim.

Agar tak salah arah, otoritas pendidikan kita harus peduli dengan upaya peningkatan mutu pendidikan. Seiring dengan proses demokratisasi yang membawa hawa segar ke arah perbaikan mutu pendidikan, maka penguatan fungsi dan peran pemerintah daerah dalam menata beragam ruang dan kebutuhan publik, termasuk di dalamnya pendidikan, menjadi lebih terbuka. Bahkan atas nama globalisasi dan keinginan mengejar ketertinggalan, dunia pendidikan kita saat ini sangat gencar membuat beragam sekolah internasional. Pertanyaannya adalah, apakah kebijakan tersebut tepat di tengah masih terbatasnya akses dan kesetaraan (access and equity) pendidikan kita?

Masih sulit untuk menjawabnya, karena fenomena sekolah bertaraf internasional baru berlangsung dalam 4 tahun terakhir. Yang paling mungkin dikritisi adalah soal peran dan fungsi sekolah tersebut dalam memilih desain kurikulum yang sesuai dengan budaya lokal. Tanpa penghargaan terhadap budaya lokal maka proses globalisasi yang akan diperkenalkan melalui program internasional bisa jadi merupakan proses pembodohan (stupidity) secara terencana.

Hal lain yang perlu mendapat perhatian otoritas pendidikan kita tentang program internasional ini adalah bagaimana membangun hubungan dan komunikasi dengan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Memang ada banyak konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang saat ini dikembangkan dan dilakukan oleh perusahaan. Tetapi tanpa konsep pemberdayaan yang berkesinambungan, maka CSR hanya akan menjadi “wajah malaikat” perusahaan saja, tinimbang memberdayakan. Itulah yang terjadi di Aceh, Papua dan Kaltim, di mana perusahaan hanya membantu hal-hal yang bersifat sporadis dan jangka pendek seperti bantuan fisik dan pembelian alat belajar-mengajar. Dalam teori School Business Management versi Dennis R. Dunklee (2003), tipologi perusahaan seperti ini hanya melakukan peran helping-hand relationship.

Masih menurut Dunklee, sejatinya kita harus dapat menuntut lebih dari para perusahaan tersebut, dengan misalnya melakukan serangkaian kegiatan pemberdayaan pendidikan dalam cakupan jangka panjang (long lasting compact and collaborative effort) yang dapat memengaruhi dengan baik kebijakan pengembangan pendidikan pada suatu daerah. Perubahan kebijakan (policy change) harus menjadi agenda dari setiap produk CRS sebuah perusahaan, karena dengan kerangka itulah masa depan, kesinambungan dan daya tahan sebuah perusahaan akan memperoleh jaminan dari komunitas sekitar.

Akan lebih baik lagi jika hubungan antara dunia usaha, pemerintah dan sekolah dilembagakan dalam sebuah regulasi yang memadai. Hal ini diperlukan agar jangan sampai terulang dunia usaha lepas tangan dan cuci kaki dari setiap tanggungjawabnya. Sementara mereka berasyik ma’syuk mengkeksploitasi sumberdaya alam kita, sekolah-sekolah yang minimal berlokasi di lingkungan tempat mereka beroperasi tak memperoleh keuntungan yang setimpal dan memadai

Rabu, 02 Juni 2010

Archimedes

Archimedes, sang ilmuwan matematika, tinggal di Syracuse pada abad ketiga SM. Dia dikenal karena berbagai sumbanganyya, misalnya penemuan pengungkit dan hukum hidrostatiks yang kadang disebut dengan prinsip Archimedes. Tokoh inilah yang dalam keadaan telanjang keluar dari pemandian umum dan lari di sepanjang jalan-jalan di kota Syracuse sambil berkata “Eurika, Eurika!” yang artinya “Aku telah dapatkan!”


Apa yang didapat Archimedes? Apa yang membuatnya begitu kegirangan sehingga dia lupa berpakaian sebelum lari pulang? Untuk menjawab pertanyaan ini , kita perlu mempelajarai apa yang sedang dipikirkannya ketika dia melangkahkan kaki masuk ke bak mandi hari itu. Kiero, sang raja di Syracuse dan seorang teman dekat atau masih kerabat Archimedes, telah menyuruh seorang tukang emas untuk membuatkan sebuah mahkota untuknya yang terbuat dari emas murni. Setelah menerima mahkota pesanannya itu, sang raja meragukan apakah si tukang emas sudah menggunakan semua emas untuk membuat mahkota itu. Mungkinkah si tukang emas telah menggantinya dengan logam yang nilainya lebih rendah, perak atau tembaga, dan menyimpan sisa emas yang tidak dipakainya?

Pada jaman itu sudah dikenal bagaimana cara mencampur emas dengan perak atau tembaga. Campuran ini tetap memperthankan warna emas yang sifatnya dominan, bahkan meskipun jumlah logam jenis lain yang dicampurkan cukup dominan. Emas murni disebut emas 24 karat. Logam campuran dengan emas 14 karat merupakan campuran dengan komposisi emas 58% dan logam lain 48%, komposisi ini sangat lazim dipakai untuk perhiasan dan wujudnya hampir persis sama dengan emas murni.

Raja Hiero memanggil Archimedes sahabatnya dan memberi sang pakar matematika ini pekerjaan untuk menyelidiki apakah amhkota barunya itu merupakan emas murni dan emas yang digunakan untuk membuatnya adalah sejumlah yang telah diberikannya kepada si tukan emas yang membuatnya. Analisis kimia pada abad ketiga SM belum secanggih matematia, sementara Archimedes sendiri sebenarnya adalah pakar matematika dan insinyur.

Sebelum ini, Achimides telah banyak berkutat dengan rumus-rumus matematis tentang volume benda-benda pada umumnya seperti benda-benda berbentuk bulat, bola dan silinder. Archimedes menyadari, jika dia bisa menentukan volume emas padamahkota Raja Hiero, dia akan mengethaui apakah mahkota itu terbuat dari emas murni, ataukah merupakan campuran dengan logam-logam lain.

Ketika dilihatnya air melimpah keluar bak mandi saat ia melangkahkan kaki ke dalamnya, Archimedes menyadari bahwa volume limpahan air itu sama dengan keseluruhan badanya sendiri yang dia masukkan ke dalam air. Maka saat itu diketahuinya cara menghitung volume suatu benda padat yang bentuknya tak beraturan, entah itu berupa kakinya sendiri ataupun berupa mahkota. Jadi, jika mahkota sang raja dimasukkan ke dalam sebuah wadah berisi air, maka dia akan dapat mengukur volume air yang meluap. Jumlah luapan air ini persis sama dengan volume mahkota.

Anggap saja Raja Hiero telah memberikan sebongkah emas murni berbentuk kubus yang beratnya 5 pon. Sisi kubus semacam ini ukurannya adalah 4,9 cm dan volume kubusnya adalah 118 cm3. Jika si tukang emas membuat mahkota itu dengan seluruh emas yang diterimanya tanpa unsur logam lain, maka mahkota itu haruslah 5 pon beratnya, dan volumenya akan sama dengan kubus emas sebagai bahannya, yakni 118 cm3, meskipun berbentuk lain. Jika si tukang emas membuat mahkota itu dengan setengah dari jumlah emas yang diterimanya dan menggantinya dengan logam lain dengan berat yang sama dengan emasnya, misalnya 2,5 pon, maka berat mahkota berbahan logam campuran ini tetap sama 5 pon namun volumenya akan berbeda.

Sejak Archimedes mengalami penemuan tak disengajanya di pemandian umum ini, maka mudahlah mengukur volume mahkota barunya Raja Hiero. Ketika sang raja mengethaui bahwa volume mahkotanya lebih besar dari yang seharusnya jika mahkota tersebut terbuat dari emas murni, maka si tukang emas yang tak jujur itu harus menerima pengadilan dalam bentuk eksekusi. Apa yang merupakan suatu ketaksengajaan (serendipity!) yang menguntungkan bagi Archimedes, rupanya tidak demikian menguntungkan bagi si tukang emas.

Jadi, penemuan yang bersifat serendipity seperti ini adalah penyebab suka cita Archimedes yang melompat lari keluar dari bak mandi, tanpa menyadari bahwa pakaiannya masih tertinggal